Friday, March 30, 2012

Sikap terhadap Putusan Sidang Parpurna DPR RI

Rakyat Indonesia, selama kurang lebih seminggu telah menyaksikan wakil-wakilnya bersidang untuk membicarakan hal yang sangat mendasar bagi kehiduapan rakyat, yaitu masalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Inti dari pembicaraan itu adalah apakah BBM di Indonesia perlu naik atau tidak. Sudah banyak argumen yang kita baca, dengar dan saksikan di media massa, baik cetak maupun elektronik, tentang perlu atau tidaknya BBM dinaikan. Secara umum, ada dua kelompok argumen yang mendominasi pembicaraan di media massa, yaitu pertama, argumen yang berpendapat bahwa untuk kepentingan ekonomi yang lebih besar, menyelematkan APBN, termasuk kepentingan rakyat jangka panjang, BBM perlu dinaikan. kelompok ini berasal dari partai koalisi pemerintah (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB). Kelompok argumen kedua yaitu kelompok oposisi (PDIP, Gerindra dan Hanura), yang berpendapat bahwa BBM tidak perlu naik karena tidak akan mengganggu APBN dan ekonomi nasional serta akan mempersulit kondisi ekonomi rakyat yang sekarang sudah susah.

Setelah melalui adu argumentasi panjang, mulai dari rapat-rapat Komisi, Banggar hingga Rapat Paripurna, DPR RI telah memutuskan bahwa BBM tidak naik per 1 April 2012 tapi memberi kewenangan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM apabila harga ICP dunia melebihi 15 % dari asumsi harga ICP dalam APBN selama 6 bulan. Keputusan ini menjadi tambahan pasal dalam UU APBN tahun 2011, melalui pasal 7 ayat 6A. Keputusan ini berarti BBM akan naik setelah 6 bulan apabila harga ICP mencapai lebih dari 20 dollar. Saat ini, ketika artikel ini ditulis, harga ICP telah mencapai harga 20 dollar. Dengan kata lain, apabila 6 bulan ke depan harga ICP tetap di atas 20 dollar, maka BBM akan dinaikan oleh pemerintah. Keputusan ini yang tidak diiterima oleh pihak oposisi, sebagian besar masyarakat Indonesia dan tentunya mahasiswa. Kelompok kedua ini menghendaki tidak ada kenaikan BBM tanpa syarat apapun, baik batas waktu tertentu maupun fluktuasi harga ICP. Tanggapan pemerintah sendiri dalam pandangan akhirnya mengenai keputusan DPR RI ini, bisa menerimanya.

Dengan lahirnya keputusan DPR RI ini, sudah sepantasnya seluruh masyarakat Indonesia berterimakasih kepada seluruh mahasiswa di penjuru tanah air dan berbagai kelompok masyarakat, yang telah melakukan demonstrasi secara terus menerus, sehingga kelompok (partai koalisi pemerintah) yang tadinya akan menaikan harga BBM per 1 April 2012, merubah sikapnya dengan membatalkan/menunda kenaikan BBM. Walau agak disayangkan, demonstrasi yang dilakukan sebagian mahasiswa bersifat anarki. Sifat demontrasi seperti ini, harus menjadi pembelajaran bagi seluruh komponen bangsa indonesia, mulai dari pemerintah (aparat keamanan) dalam mengelola demonstrasi, DPR dan kementerian terkait (Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM) untuk lebih peka menangkap aspirasi rakyat, serta dari kalangan mahasiswa sendiri untuk tetap mengedepankan demonstrasi yang solid, kuat dan santun.

Keputusan ini belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia, utamanya oposisi dan mahasiswa. Namun demikian, sebagai negara demokrasi, yang salah satu cirinya menerima dan menjalankan keputusansetelah keputusan tersebut dibuat melalui prosedur yang demokratis, maka sikap yang kita lakukan adalah menerima keputusan tersebut (mungkin sementara). Yang terpenting adalah apabila kita (masyarakat Indonesia) tetap menginginkan harga  BBM tidak naik, bukan hanya 6 bulan kedepan dan tidak terpengaruh harga ICP, maka perlu tetap melakukan langkah-langkah yang konstitusional. Secara konstitusisonal demonstrasi tidak dilarang dan ini tetap bisa dilakukan sebagai media kontrol masyarakat terhadap pemerintah, selama dilakukan tidak anarki. Komunikasi yang intensif dengan lembaga DPR RI dan pemerintah tetap harus dilakukan, baiik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyakinkan mereka dengan argumentasi yang kuat, bahwa kenaikan harga BBM bukan pilihan terbaik. Hal lain yang bisa juga dilakukan adalah dengan mengajukan uji materil UU APBN-P khususnya tambahan pasal 7 ayat 6A ke Mahkamah Konstitusi.

Pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi ini penting karena mahkamah konstitusi sudah menolak bahwa harga BBM tidak harus didasarkan pada harga pasar. Urgensinya menjadi lebih penting ketika DPR menyepakati tambahan pasal 7 ayat 6A dalam UU APBN-P. Uji materil ini bertujuan untuk mengetahui mana yang benar dari tafsir pasal 7 ayat 6A ini, apakah tafsir yang mengatakan bahwa tambahan itu merupakan wujud dari penolakan terhadap penentuan harga BBM yang didasarkan pada harga pasar atau tafsir yang mengatakan bahwa pasal tersebut masih tetap merujuk bahwa harga BBM ditentukan harga pasar. Perbedaan tafsir ini terjadi, baik diantara anggota DPR, maupun antara pemerintah, DPR dan masyarakat. Kita berharap dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tentang hal ini bisa menyelesaikan masalah mengenai penentuan harga BBM untuk jangka panjang. semoga bermanfaat.             

Monday, March 26, 2012

Membudayakan Menulis bagi Mahasiswa


Masalah yang berkaitan dengan kemampuan menulis mahasiswa sering dibicarakan oleh pemangku kepentingan (stakeholders) bidang pendidikan, baik di media massa maupun kegiatan diskusi, seminar dan workshop. Apalagi sejak adanya kebijakan kementerian pendidikan dan kebudayaan melalui Surat edaran dirjen dikti nomor 152/E/T/2012, bahwa mulai agustus 2012 yang menentukan syarat kelulusan bagi S1,S2 dan S3 harus mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal ilmiah. Terlepas dari pro dan kontra kebijakan tersebut, kemampuan menulis mahasiswa menjadi penting untuk diperhatikan oleh stakeholders bidang pendidikan.

Pada prinsipnya tujuan kebijakan tersebut baik yaitu untuk meningkatkan kemampuan menulis lulusan dan menghindari plagiarisme, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing bangsa. Namun yang menjadi masalah adalah pada tingkat implementasi, khususnya kemampuan PT dalam menyediakan sarana publikasi yang berkualitas. Tulisan singkat ini tidak membahas kebijakan kemendikbud, tapi lebih memfokuskan pada bagaimana membangun kemampuan menulis lulusan/mahasiswa sebagai salah satu kompetensi yang diperlukan. 

Kemendikbud menyampaikan bahwa sejak tahun 2010, publikasi ilmiah Indonesia dibawah negara-negara Asean dan jauh di bawah Malaysia. Kondisi ini berbeda pada tahun 2001, dimana Indonesia dan negara-negara Asean masih relatif sama jumlah publikasi ilmiahnya. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi, diantaranya: pertama, di tingkat mahasiswa kemampuan menulis mahasiswa yang rendah sebagai akibat kurangnya minat mahasiswa menulis. Minat tidak akan muncul apabila menulis difahami sebagai sesuatu kemampuan yang kurang/tidak memberi manfaat bagi dirinya baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Sedangkan di tingkat dosen, selain faktor kemampuan menulis, juga faktor belum fokusnya dosen terhadap bidang penelitian.

Kedua, kebijakan pemerintah dan satuan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) yang belum mendukung sistem pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam menulis. Kebijakan pemerintah tentang kewajiban publikasi ilmiah bagi syarat kelulusan, dapat menjadi awal untuk membangun kompetensi menulis, apabila infrastrukturnya dipersiapkan dengan baik. Pentingnya kompetensi menulis bagi mahasiswa, belum difahami secara menyeluruh oleh pengelola PT atau program studi. Hal ini ditunjukan dengan tidak semua PT mewajibkan mahasiswanya membuat skripsi sebagai syarat kelulusaanya. Kewajiban menulis skripsi, yang dilembagakan oleh pemerintah, bisa menjadi tahap awal untuk membangun kemampuan menulis.

Oleh karenanya untuk membangun kompetensi menulis perlu dilakukan dua hal, yaitu pertama membangun kesadaran kepada mahasiswa bahwa menulis merupakan salah satu keterampilan hidup (life skill) bukan hanya sebatas kemampuan akademik. Kedua, menciptakan budaya menulis melalui kebijakan institusi atau PT, baik di bidang kurikulum maupun non kurikulum (program-program PT).  

Kesadaran mahasiswa dalam menulis akan tumbuh apabila adanya pemahaman bahwa menulis bermanfaat bagi diri dan kehidupannya di masa depan. Kita perlu banyak mengelaborasi di berbagai forum diskusi tentang manfaat menulis sebagai life skill (ketrampilan hidup). Menulis banyak difahami sebagai sebuah ketrampilan yang tidak mudah, apalagi menulis ilmiah. Persepsi bahwa menulis itu sulit,  akan menjadi kendala tersendiri dalam membangun kemampuan menulis. Oleh karenanya persepsi ini perlu dirubah melalui diseminasi tentang menulis itu bermanfaat bagi mahasiswa. Apabila menulis ilmiah dianggap sulit, kenapa tidak dimulai dari menulis fiksi. Dengan tumbuhnya kecintaan terhadap menulis (fiksi/tulisan sederhana), maka seiring bertambahnya pengetahuannya, keinginan untuk menulis ilmiah akan muncul.   

Berbagai kajian menunjukan bahwa menulis memberi banyak manfaat bagi seseorang. Pakar menulis, Caryn Mirriam-Goldberg PhD (dalam http://yopi-nasir.blogspot.com/2012/03/manfaat-menulis.html, 26/3/2012) mengemukakan manfaat menulis diantaranya: memahami diri sendiri, membangkitkan kepercayaan diri, memunculkan ide dan gagasan sendiri, memberi kontribusi pada orang lain atau masyarakat, meningkatkan kreatifitas, sebagai wadah meluapkan berbagai masalah diri yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

Dalam menulis (ilmiah) apalagi tulisan untuk dipublikasikan, dapat memberikan pembelajaran yang bermanfaat dalam kehidupan atau life skill. Artinya orang yang terbiasa menulis akan senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip dalam menulis. Beberapa prinsip  yang penting dalam menulis adalah mengedepankan logika/rasionalitas, berbicara atau berargumentasi berdasarkan fakta, mengedepankan kejujuran, serta melatih kepekaan sosial.

Orang yang terbiasa menulis senantiasa berpikir logis, rasional dan sistematis. Hal ini sangat diperlukan dalam membangun interpersonal yang baik atau yang dikenal dengan soft skills. Konflik bisa muncul karena sumber informasi yang tidak faktual/valid. Menulis mengasah kita untuk senantiasa mendasari argumen berdasarkan fakta.

Kejujuran menjadi nilai yang sangat langka dalam masyarakat bangsa ini. Ungkapan yang salah seperti "orang jujur akan hancur", menjadi pegangan sebagian masyarakat kita. Maraknya korupsi di Indonesia merupakan akibat dari membudayanya ketidakjujuran. Bangsa ini tidak akan bisa mengatasi masalah yang kompleks hanya dengan satu, dua atau tiga orang, kelompok atau partai sekalipun. Bangsa ini membutuhkan sinergi dan kolaborasi dari semua komponen masyarakat. Hal itu akan terjadi apabila semua kita memiliki kepekaan sosial. Menulis melahirkan kepekaan sosial karena dituntut untuk selalu menemukan dan menjawab masalah. Oleh karenanya Nilai-nilai yang terkandung dalam menulis akan sangat bermanfaat bagi diri sendiri (bidang kerjanya), masyarakat dan bangsa Indonesia. 

Sedangkan untuk bisa menciptakan budaya menulis setidaknya ada dua hal yang dilakukan secara pararel, yaitu di tingkat kurikuler dan ko/ekstra kurikuler. Di bidang kurikuler, kemampuan menulis akan muncul dan menjadi kebiasaan (budaya) apabila kurikulumnya mendukung. Yang harus diperhatikan di bidang kurikulum yaitu mata kuliah yang mendukung dan metode pembelajaran yang berorientasi pada membiasakan dan meningkatkan kemampuan menulis. Setidaknya perlu ada 3 Mata kuliah dasar yang harus ada dalam kurikulum pendidikan tinggi yaitu bahasa Indonesia, metode penelitian dan penulisan ilmiah. Semua mata kuliah ini, harus mengarah pada kompetensi umum kemampuan menulis atau meneliti. Metode pembelajaran untuk semua mata kuliah pun harus diarahkan untuk melatih kemampuan menulis mahasiswa dan ada evaluasi hasil tulisan dari dosennya. Contoh pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan menulis adalah dalam pemberian tugas-tugas kuliah, setidaknya mahasiswa diminta untuk melakukan 3 hal yaitu: menemukan masalah dalam sebuah fenomena yang sesuai mata kuliah atau bidang ilmunya,  alat analisis (teori/kerangka berpikir) yang digunakan, serta menerapkannya pada masalah yang dianalisis. Hal ini akan berhasil baik apabila didukung oleh wawasan mahasiswa yang memadai. Oleh karenanya, review berbagai bacaan atau buku, menjadi penting dalam proses pembelajaran. Bobot yang tinggi untuk mendapat nilai bagus, sebagai faktor terakhir yang penting dalam membangun culture menulis.     

Untuk bidang ko dan ekstra kurikuler, peran pengelola sistem pendidikan, mulai dari tingkat program studi hingga universitas sangat penting. Peran yang harus dilakukan adalah memfasilitasi berbagai hal yang mendukung budaya menulis. Beberapa yang perlu menjadi perhatian adalah senantiasa memperbaharui koleksi pustaka yang memadai, baik yang bersifat cetak maupun on line. Beberapa program kegiatan yang disusun oleh pengelola harus menciptakan iklim budaya menulis seperti kegiatan pelatihan menulis serta lomba-lomba menulis, baik menulis fiksi maupun non fiksi. Fasilitasi insentif bagi prestasi mahasiswa juga harus disiapkan.

Berdasarkan uraian tersebut, kemampuan dan budaya menulis di kalangan mahasiswa, tidak hanya ditentukan oleh mahasiswa sendiri namun harus didukung dan difasilitasi oleh lembaga atau pengelola pendidikan. 


Wednesday, March 21, 2012

Mutiara Pergaulan

Diantara kata-kata mutiara tentang pertemanan adalah kata-kata Ibnu Hassan al-Warraq. Ketika ditanya oleh Abu Usman tentang pertemanan, ia mnjawab: “pertemanan dengan Allah adalah dengan tata krama ibadah; dengan Rosul Shollallahu Alaihi Wa Sallam dengan mengakrabi ilmu dan mengikuti sunnah; dengan para wali Allah dengan penghormatan dan memberikan pelayanan kepada umat; dengan sesama adalah dengan keceriaan dan keramahan serta membuang kemasaman wajah terhadap mereka selagi tidak melanggar syariah atau menerjang kesuciannya, Allah berfirman, “jadilah orang pemaaf dan ajaklah kebaikan” (Al-A’raf: 199); pertemanan dengan orang-orang bodoh adalah dengan memandang mereka dengan pandangan kasih sayang dan bersyukur atas nikmat Allah kepadamu, karena dia tidak menjadikanmu seperti mereka serta berdoa kepada Allah agar menyelamatkanmu dari kecobaan kebodohan”  

Allah Memberi yang Lebih Baik

Seorang laki-laki datang menemui Ja’far bin Muhammad mengeluhkan kesulitan hidupnya. Lantas Ja’far pun menasehatinya dengan menyenandungkan bait-bait syair:
“Tak perlu gundah gulana,
bila suatu hari kesulitan menimpa
Sebab betapa Anda telah senang
Dengan kelapangan panjang
Tak perlu putus asa,
Sebab putus asa adalah kekufuran
Siapa tahu, justru
Dengan yang sedikit Allah mencukupimu
Tak perlu berprasangka pada Tuhanmu
Selain yang baik
Sebab Allah pasti memberi yang lebih baik”

Laki-laki itu menuturkan bahwa semua perasaan yang ia keluhkan itu kemudian hilang

Tuesday, March 20, 2012

Festival Budaya 5 Benua HI 2008

Tarian Sunda
    

PENDIDIKAN TINGGI BERBASIS “SOLUSI” BANGSA

 Bidang pendidikan menjadi perhatian utama masyarakat, ketika masalah bangsa muncul silih berganti, mulai dari masalah politik, ekonomi, social dan budaya. Perhatian masyarakat seperti ini bisa difahami karena pendidikan merupakan institusi yang dapat membentuk karakter sebuah bangsa. Masalahnya adalah apakah pendidikan telah membentuk karakter yang dapat berkontribusi terhadap solusi bangsa? atau sebaliknya pendidikan hanya membentuk manusia cerdas tapi belum menciptakan karakter bangsa yang solutif?. Tulisan ini berusaha memberikan wacana kepada stakeholders (pemangku kepentingan) pendidikan, untuk menjadikan pendidikan sebagai institusi  yang melahirkan manusia-manusia yang berkarakter solutif bukan destruktif.

Beberapa masalah bangsa yang sering dibicarakan di media adalah kemiskinan, konflik kekerasan baik bersifat vertikal (pemerintah dan masyarakat) maupun horizontal (masyarakat dengan masyarakat) ketidakadilan hukum serta maraknya korupsi. Persatuan Alumni OSIS se-Indonesia, Satrio Chaniago menyebutkan 40 juta jiwa pengangguran, 1,5 juta korban PHK, lebih kurang 20 persen hidup di bawah garis kemiskinan[1]. BPS menyebutkan di tahun 2011, penduduk miskin di kota dan desa berjumlah 30 juta lebih atau sekitar 12, 49 % dari penduduk Indonesia[2]. Konflik kekerasan yang berawal dari sengketa pengolahan bahan tambang di Bima Nusatenggara Barat, masalah tuntutan warga Papua terhadap hak menikmati keberadaan kekayaan bahan tambang, konflik syiah dan sunni di Sampang Madura, menunjukan bahwa konflik masih bersumber dari masalah sumber daya alam dan bernuansa sara (suku, ras, agama dan antar golongan). Ketidak adilan hukum masih terlihat dari proses dan putusan hukum yang diskriminatif antara pelaku kriminal “kecil” dan pelaku kriminal “besar”, serta perlakuan yang berbeda dari pegawai lembaga pemasyarakatan antar narapidana. Korupsi yang meluas, baik dari aspek jumlah maupun pelakunya di era reformasi, menunjukan bahwa tujuan reformasi untuk menghilangkan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) belum terwujud. 

Banyak analis yang telah menjelaskan akar penyebab dari banyaknya masalah yang dihadapi bangsa ini, utamanya akar penyebab konflik yang belakangan terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Prof.Dr. H.M. Amin Abdullah menyebutkan bahwa masalah (konflik) muncul ketika keinginan negatif (negative interest) sesorang atau kelompok orang dicapai dengan mengabaikan hak orang lain, mengabaikan nilai-nilai persamaan, keadilan dan persaudaraan. Oleh karenanya untuk meminimalisir konflik, perlu dilakukan penanaman kesadaran kepada masyarakat akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democracy values) dalam setiap aktifitas sosial.  M. Ainul Yaqin, M.Ed. mengemukakan bahwa pemahaman dan respon yang tidak tepat terhadap karakteristik Indonesia yang heterogen, telah menimbulkan masalah bangsa. Pendidikan multikultural yang menanamkan nilai-nilai demokrasi, humanisme dan pluralisme menjadi bagian solusi masalah bangsa ini [3].
P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) memahami bahwa akar penyebab dari persoalan kemiskinan yang sebenarnya adalah karena kondisi masyarakat yang belum berdaya. Hal ini diindikasikan oleh perilaku/sikap/cara pandang masyarakat yang tidak dilandasi pada nilai-nilai universal kemanusiaan, yaitu sifat kejujuran, dapat dipercaya dan ikhlas, serta tidak bertumpu pada prinsip-prinsip universal kemasyarakatan, seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan demokrasi. Kondisi ini yang menyebabkan pemerintah membuat Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil [4]

Jacob Utama, Pendiri Kompas Gramedia dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) menyampaikan bahwa di Indonesia, jumlah wirausahawan baru mencapai 0,18 % dari total jumlah penduduk Indonesia 225 juta, dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 4,2 %, Malaysia 2,1 %, Thailand 4,1 %, Korea Selatan 4 % dan Amerika Serikat mencapai 11,5 % [5].  Menurutnya, menjadi wirausahawan menjadi salah satu kunci yang strategis untuk memajukan bangsa dan negara, khususnya mengurangi kemiskinan. Beberapa kunci keberhasilan menjadi wirausahawan adalah nilai kreatifitas, proaktif, semangat juang yang tinggi, optimis, mandiri, berani mengambil risiko, dan berani bersaing secara agresif dan jujur, tidak malu untuk memulai sesuatu yang baru serta membangun relasi yang baik. Nilai-nilai ini yang harus ditransformasikan dalam proses pendidikan (pembelajaran).
Dari berbagai akar penyebab tersebut, terlihat bahwa karakter dominan manusia yang terbentuk dan berkembang dari proses sosialnya, sangat menentukan bentuk aktifitas seseorang atau kelompok orang di masyarakat. Salah satu proses sosial penting dan formal di masyarakat yang menentukan karakter tersebut adalah bidang pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Oleh karenanya perguruan tinggi memegang peran utama untuk menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang solutif, yaitu karakter yang mampu meyelesaikan masalah bangsa dan meminimalisir konflik. Penekanan pada meminimalisir konflik menjadi sangat penting, mengingat karakteristik Indonesia yang sangat heterogen (keberagaman) dan dapat berpotensi konflik apabila tidak difahami dan direspon dengan benar makna keberagaman. 

Sudah saatnya seluruh stakeholders perguruan tinggi menyadari bahwa pendidikan tidak hanya sebagai sarana untuk transfer of knowledge tapi sebagai sarana pembentukan karakter (character building)yang lulusannya mampu bersaing, baik di tingkat nasional maupun global, serta dapat berkontribusi terhadap  masalah-masalah bangsa. Untuk menjalankan perannya tersebut, sistem pendidikan yang perlu dikembangkan perguruan tinggi di Indonesia adalah sistem pendidikan yang berbasis “solusi”, yaitu pendidikan yang berbasis soft skills (so), multikultur (lu) dan entrepreneurship (si).
Soft skills diartikan sebagai personal and interpersonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team building, initiative, decision making). Soft skills do not include technical skills, such as financial, computer and assembly skills [6]. Banyak hasil penelitian dan analisis yang menunjukan bahwa soft skills lebih menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja dan berusaha (bisnis) dibandingkan hanya kemampuan intelegensia (hard skills). Namun ironisnya praksis sistem pendidikan lebih menekankan pada hard skills daripada soft skills dalam proses pembelajarannya. Kondisi ini yang mengakibatkan lulusan perguruan tinggi tidak mampu bersaing dan tidak menjadi bagian untuk menyelesaikan masalah bangsa.   

Beberapa nilai-nilai soft skills yang terpenting dalam kaitannya dalam membentuk karakter bangsa dan perlu ditransformasikan dalam proses pembelajaran yaitu: kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir analitis, bekerja dalam tim, kemampuan beradaptasi, bersikap jujur, kreatif dan inovatif, kemampuan multikultur, memiliki kemandirian, kemampuan untuk bekerja keras, serta kesiapan dalam kondisi tertekan/darurat. Munculnya konflik yang bernuansa sara antara pendatang dan pribumi, penyelesaian masalah oleh pemerintah yang berakhir kekerasan merupakan akibat rendahnya kemampuan komunikasi para pemimpin bangsa dan kelompok masyarakat, serta kemampuan masyarakat Indonesia untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Disisi lain rendahnya lulusan perguruan tinggi berwirausaha disebabkan oleh rendahnya tingkat kemandirian, kreatifitas, serta kesiapan berusaha dalam kondisi tertekan. Indra Djati Sidi mengemukakan bahwa kemampuan kerjasama dalam tim juga menjadi salah satu kelemahan masyarakat Indonesia untuk membawa kejayaan bangsanya [7]. Kerjasama merupakan kunci utama menciptakan perdamaian di negara yang sangat heterogen. Oleh karenanya pembelajaran yang berorientasi pada kepandaian dalam membangun kerjasama sosial yang melintasi batas-batas primordialisme (suku, agama, ras dan antar golongan), menjadi sebuah keniscayaan.

M. Ainul Yaqin M.Ed mengemukakan bahwa Pendidikan multikultural menjadi sangat penting diterapkan di Indonesia karena strategi dan konsep pendidikan ini, tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam ilmu yang dipelajarinya, tetapi sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada di sekitar mereka. Yang  perlu difahami adalah bahwa pendidikan multikultural bukan semata-mata pemberian pengetahuan kepada peserta didik tentang nilai-nilai tersebut, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai tersebut diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan semua kegiatan ekstra kurikuler mahasiswa di perguruan tinggi. Beberapa nilai multikultural yang harus dikembangkan adalah anti diskriminasi, penghormatan dan memperjuangkan nilai keadilan berbasis pada kamanusiaan, penghargaan terhadap perbedaan, pengembangan demokrasi yang substantif dan tidak hanya prosedural. Oleh karenanya penguatan nilai-nilai multikultur menjadi keniscayaan dikembangkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Indonesia akan mengalami kehancuran, apabila generasi penerusnya tidak memiliki nilai-nilai tersebut.

Schumpeter mengatakan seorang wirausahawan adalah individu yang memperoleh peluang dan menciptakan organisasi untuk mengejarnya (mengejar peluang). Sedangkan Drucker mengatakan bahwa wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya, dan memanfaatkannya sebagai peluang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seorang entrepreneur adalah pribadi yang mencintai perubahan, karena dalam perubahan tersebut peluang selalu ada. Ia akan selalu mengejar peluang tersebut dengan cara menyusun suatu organisasi [8]. Scharg menyebutkan bahwa wirausahawan merupakan hasil belajar, walaupun diakui bahwa jiwa wirausahawan mungkin juga telah diperoleh sejak lahir (bakat). Bakat yang telah ada, bila tidak dikondisikan dan dikembangkan, maka bakat tersebut tidak akan menghasilkan. Disinilah pentingnya pembelajaran (pendidikan) berbasis entrepreneurship. Muncul dan berkembangnya jiwa-jiwa entrepreneur (wirausaha) akan menjadi solusi rendahnya jumlah wirausahawan di Indonesia, dan jangka menengah dan panjang akan mengurangi kemiskinan.

Agar pendidikan berbasis “solusi” ini bisa diimplementasikan secara efektif, maka perlu direncanakan secara sistematis dan terintegrasi oleh setiap perguruan tinggi. Ada dua hal yang perlu dilakukan  yaitu: pertama, sosialisasi makna pendidikan berbasis “solusi” kepada seluruh sivitas akademika termasuk pimpinan perguruan tinggi. Sebagian sivitas akademika, utamanya dosen belum memahami sepenuhnya tentang soft skills, multikultural dan enterpreneurship dalam proses pembelajaran. Perdebatan tentang apakah “solusi” bisa diukur atau tidak, apakah “solusi” bisa diterapkan untuk semua mata kuliah atau tidak, menunjukan bahwa pemahaman tentang “solusi” perlu kembali kita pelajari. Pemahaman yang benar tentang “solusi” peserta didik (mahasiswa) akan ditentukan oleh pemahaman yang benar dulu oleh tenaga pendidiknya. Untuk mendukung program-program pembelajaran yang berbasis “solusi”, peran pimpinan perguruan tinggi sangat diperlukan.

Kedua, pendidikan berbasis “solusi” belum cukup hanya sebatas sosialisasi, namun yang lebih penting adalah merubah kurikulum satuan pendidikan menjadi kurikulum yang berbasis “solusi”. Kurikulum yang dikembangkan harus memastikan bahwa “solusi” masuk dalam perkuliahan baik dalam bentuk mata kuliah atau metode pembelajarannya. Agar pembelajaran berbasis “solusi” memiliki dampak, maka lebih baik masuk dalam metode pembelajaran, karena peserta didik akan mengalami proses pembentukan karakter selama mengikui pendidikan. Konsekuensi pembelajaran berbasis “solusi”  menuntut kompetensi dosen dalam strategi dan metode pembelajaran.  Dosen harus mulai untuk merubah startegi dan metode pembelajarannya dari yang bersifat klasik (teacher centered learning/TCL) menjadi pembelajaran berbasis student centered learning (SCL). Penanaman karakter tidak bisa efektif diterapkan melalui pembelajaran berbasis TCL, karena peserta didik cenderung tidak dilibatkan langsung mempraktekan nilai-nilai “solusi”.  Oleh karenanya berbagai strategi dan metode pembelajaran yang inovatif harus menjadi stratagi dan metode pembelajaran semua dosen. Beberapa strategi pembelajaran inovatif yang harus terus diperkuat pelaksanaannya adalah case-based learning, cooperative learning, competitive learning, problem based learning[9].

Ketiga, pimpinan perguruan tinggi harus memfasilitasi kegiatan ekstra kurikuler yang mendukung tujuan pendidikan berbasis “solusi”, baik yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa. Ini sangat penting sebagai bagian dari upaya yang integratif dan menyeluruh di semua kegiatan sivitas akademika. Tidak adanya komitmen pimpinan terhadap pembelajaran berbasis “solusi”, akan mengakibatkan tujuan perguruan tinggi untuk membentuk karakter bangsa tidak bisa terwujud. Selain peningkatan kompetensi dosen dalam proses pembelajaran, sarana dan prasarana pendukung pembelajaran pun harus difasilitasi. Sarana dan prasarana tersebut diantaranya ruang yang memadai, dukungan dana untuk program-program yang mendukung “solusi” serta adanya stimulan atau insentif bagi dosen yang mengembangkan proses pembelajaran berbasis “solusi”.

Semua cara itu hanya akan efektif apabila ada komitmen bersama semua sivitas akademika untuk merubah paradigma pendidikan atau pembelajaran dari yang bersifat semata-mata trasfer of knowledge menjadi pembelajaran berbasis “solusi”. Komitmen ini penting, karena perubahan ini membutuhkan kesiapan waktu, pengetahuan dan dana untuk mengimplementasikannya. Namun ada satu hal yang harus tetap ada dan melebihi dukungan tersebut, yaitu idealisme pengelola perguruan tinggi, utamanya pendidik (dosen) untuk tetap memiliki idealisme sebagai pendidik, dimana kualitas lulusannya akan sangat ditentukan oleh proses pembelajarannya. Apabila kita cinta bangsa dan generasi penerus kita, maka kita harus melakukan perubahan tersebut.


[1] “Kewirausahaan Tuntaskan Masalah Bangsa”, dalam http://antaranews.com/berita/282032/kewirausahaan-tuntaskan-masalah-bangsa, diakses tanggal 15 Januari 2012
[2] “Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menurut Provinsi 2011, dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=23&notab=1, diakses tanggal 16 Januari 2012
[3] M.Ainul Yaqin, 2007, Pendidikan Multikultural: cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media
[5] “Jacob Utama: Jumlah Wirausahawan Indonesia Tertinggal”, http://www..tribunnews.com/2011/11/26/jacob-utama-jumlah-wirausahawan-indonesia-tertinggal, diakses tanggal 16 Januari 2012
[6] Asep Saepudin, 2009, “Membangun Soft Skills Mahasiswa Melalui Kegiatan Kurikuler, Ko dan Ekstra Kurikuler”, disampaikan dalam Seminar Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi, Fisip UPN “Veteran” Yogyakarta, 31 Desember 2009
[7] Indra Djati Sidi, 2008, “Pendidikan Masa Depan Indonesia”, Makalah yang disampaikan dalam Workshop Renstra Sekolah, P4TK, Sawangan, 24 Juli 2008
[8] “Pendidikan Berbasis Enterpreneur” dalam www.penulislepas.com, diakses tanggal 16 Januari 2012
[9] Richard L. Arends, 2008, Learning to Teach, Yogyakarta: Pustaka Pelajar