Tuesday, March 20, 2012

PENDIDIKAN TINGGI BERBASIS “SOLUSI” BANGSA

 Bidang pendidikan menjadi perhatian utama masyarakat, ketika masalah bangsa muncul silih berganti, mulai dari masalah politik, ekonomi, social dan budaya. Perhatian masyarakat seperti ini bisa difahami karena pendidikan merupakan institusi yang dapat membentuk karakter sebuah bangsa. Masalahnya adalah apakah pendidikan telah membentuk karakter yang dapat berkontribusi terhadap solusi bangsa? atau sebaliknya pendidikan hanya membentuk manusia cerdas tapi belum menciptakan karakter bangsa yang solutif?. Tulisan ini berusaha memberikan wacana kepada stakeholders (pemangku kepentingan) pendidikan, untuk menjadikan pendidikan sebagai institusi  yang melahirkan manusia-manusia yang berkarakter solutif bukan destruktif.

Beberapa masalah bangsa yang sering dibicarakan di media adalah kemiskinan, konflik kekerasan baik bersifat vertikal (pemerintah dan masyarakat) maupun horizontal (masyarakat dengan masyarakat) ketidakadilan hukum serta maraknya korupsi. Persatuan Alumni OSIS se-Indonesia, Satrio Chaniago menyebutkan 40 juta jiwa pengangguran, 1,5 juta korban PHK, lebih kurang 20 persen hidup di bawah garis kemiskinan[1]. BPS menyebutkan di tahun 2011, penduduk miskin di kota dan desa berjumlah 30 juta lebih atau sekitar 12, 49 % dari penduduk Indonesia[2]. Konflik kekerasan yang berawal dari sengketa pengolahan bahan tambang di Bima Nusatenggara Barat, masalah tuntutan warga Papua terhadap hak menikmati keberadaan kekayaan bahan tambang, konflik syiah dan sunni di Sampang Madura, menunjukan bahwa konflik masih bersumber dari masalah sumber daya alam dan bernuansa sara (suku, ras, agama dan antar golongan). Ketidak adilan hukum masih terlihat dari proses dan putusan hukum yang diskriminatif antara pelaku kriminal “kecil” dan pelaku kriminal “besar”, serta perlakuan yang berbeda dari pegawai lembaga pemasyarakatan antar narapidana. Korupsi yang meluas, baik dari aspek jumlah maupun pelakunya di era reformasi, menunjukan bahwa tujuan reformasi untuk menghilangkan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) belum terwujud. 

Banyak analis yang telah menjelaskan akar penyebab dari banyaknya masalah yang dihadapi bangsa ini, utamanya akar penyebab konflik yang belakangan terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Prof.Dr. H.M. Amin Abdullah menyebutkan bahwa masalah (konflik) muncul ketika keinginan negatif (negative interest) sesorang atau kelompok orang dicapai dengan mengabaikan hak orang lain, mengabaikan nilai-nilai persamaan, keadilan dan persaudaraan. Oleh karenanya untuk meminimalisir konflik, perlu dilakukan penanaman kesadaran kepada masyarakat akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democracy values) dalam setiap aktifitas sosial.  M. Ainul Yaqin, M.Ed. mengemukakan bahwa pemahaman dan respon yang tidak tepat terhadap karakteristik Indonesia yang heterogen, telah menimbulkan masalah bangsa. Pendidikan multikultural yang menanamkan nilai-nilai demokrasi, humanisme dan pluralisme menjadi bagian solusi masalah bangsa ini [3].
P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) memahami bahwa akar penyebab dari persoalan kemiskinan yang sebenarnya adalah karena kondisi masyarakat yang belum berdaya. Hal ini diindikasikan oleh perilaku/sikap/cara pandang masyarakat yang tidak dilandasi pada nilai-nilai universal kemanusiaan, yaitu sifat kejujuran, dapat dipercaya dan ikhlas, serta tidak bertumpu pada prinsip-prinsip universal kemasyarakatan, seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan demokrasi. Kondisi ini yang menyebabkan pemerintah membuat Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil [4]

Jacob Utama, Pendiri Kompas Gramedia dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) menyampaikan bahwa di Indonesia, jumlah wirausahawan baru mencapai 0,18 % dari total jumlah penduduk Indonesia 225 juta, dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 4,2 %, Malaysia 2,1 %, Thailand 4,1 %, Korea Selatan 4 % dan Amerika Serikat mencapai 11,5 % [5].  Menurutnya, menjadi wirausahawan menjadi salah satu kunci yang strategis untuk memajukan bangsa dan negara, khususnya mengurangi kemiskinan. Beberapa kunci keberhasilan menjadi wirausahawan adalah nilai kreatifitas, proaktif, semangat juang yang tinggi, optimis, mandiri, berani mengambil risiko, dan berani bersaing secara agresif dan jujur, tidak malu untuk memulai sesuatu yang baru serta membangun relasi yang baik. Nilai-nilai ini yang harus ditransformasikan dalam proses pendidikan (pembelajaran).
Dari berbagai akar penyebab tersebut, terlihat bahwa karakter dominan manusia yang terbentuk dan berkembang dari proses sosialnya, sangat menentukan bentuk aktifitas seseorang atau kelompok orang di masyarakat. Salah satu proses sosial penting dan formal di masyarakat yang menentukan karakter tersebut adalah bidang pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Oleh karenanya perguruan tinggi memegang peran utama untuk menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang solutif, yaitu karakter yang mampu meyelesaikan masalah bangsa dan meminimalisir konflik. Penekanan pada meminimalisir konflik menjadi sangat penting, mengingat karakteristik Indonesia yang sangat heterogen (keberagaman) dan dapat berpotensi konflik apabila tidak difahami dan direspon dengan benar makna keberagaman. 

Sudah saatnya seluruh stakeholders perguruan tinggi menyadari bahwa pendidikan tidak hanya sebagai sarana untuk transfer of knowledge tapi sebagai sarana pembentukan karakter (character building)yang lulusannya mampu bersaing, baik di tingkat nasional maupun global, serta dapat berkontribusi terhadap  masalah-masalah bangsa. Untuk menjalankan perannya tersebut, sistem pendidikan yang perlu dikembangkan perguruan tinggi di Indonesia adalah sistem pendidikan yang berbasis “solusi”, yaitu pendidikan yang berbasis soft skills (so), multikultur (lu) dan entrepreneurship (si).
Soft skills diartikan sebagai personal and interpersonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team building, initiative, decision making). Soft skills do not include technical skills, such as financial, computer and assembly skills [6]. Banyak hasil penelitian dan analisis yang menunjukan bahwa soft skills lebih menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja dan berusaha (bisnis) dibandingkan hanya kemampuan intelegensia (hard skills). Namun ironisnya praksis sistem pendidikan lebih menekankan pada hard skills daripada soft skills dalam proses pembelajarannya. Kondisi ini yang mengakibatkan lulusan perguruan tinggi tidak mampu bersaing dan tidak menjadi bagian untuk menyelesaikan masalah bangsa.   

Beberapa nilai-nilai soft skills yang terpenting dalam kaitannya dalam membentuk karakter bangsa dan perlu ditransformasikan dalam proses pembelajaran yaitu: kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir analitis, bekerja dalam tim, kemampuan beradaptasi, bersikap jujur, kreatif dan inovatif, kemampuan multikultur, memiliki kemandirian, kemampuan untuk bekerja keras, serta kesiapan dalam kondisi tertekan/darurat. Munculnya konflik yang bernuansa sara antara pendatang dan pribumi, penyelesaian masalah oleh pemerintah yang berakhir kekerasan merupakan akibat rendahnya kemampuan komunikasi para pemimpin bangsa dan kelompok masyarakat, serta kemampuan masyarakat Indonesia untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Disisi lain rendahnya lulusan perguruan tinggi berwirausaha disebabkan oleh rendahnya tingkat kemandirian, kreatifitas, serta kesiapan berusaha dalam kondisi tertekan. Indra Djati Sidi mengemukakan bahwa kemampuan kerjasama dalam tim juga menjadi salah satu kelemahan masyarakat Indonesia untuk membawa kejayaan bangsanya [7]. Kerjasama merupakan kunci utama menciptakan perdamaian di negara yang sangat heterogen. Oleh karenanya pembelajaran yang berorientasi pada kepandaian dalam membangun kerjasama sosial yang melintasi batas-batas primordialisme (suku, agama, ras dan antar golongan), menjadi sebuah keniscayaan.

M. Ainul Yaqin M.Ed mengemukakan bahwa Pendidikan multikultural menjadi sangat penting diterapkan di Indonesia karena strategi dan konsep pendidikan ini, tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam ilmu yang dipelajarinya, tetapi sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada di sekitar mereka. Yang  perlu difahami adalah bahwa pendidikan multikultural bukan semata-mata pemberian pengetahuan kepada peserta didik tentang nilai-nilai tersebut, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai tersebut diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan semua kegiatan ekstra kurikuler mahasiswa di perguruan tinggi. Beberapa nilai multikultural yang harus dikembangkan adalah anti diskriminasi, penghormatan dan memperjuangkan nilai keadilan berbasis pada kamanusiaan, penghargaan terhadap perbedaan, pengembangan demokrasi yang substantif dan tidak hanya prosedural. Oleh karenanya penguatan nilai-nilai multikultur menjadi keniscayaan dikembangkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Indonesia akan mengalami kehancuran, apabila generasi penerusnya tidak memiliki nilai-nilai tersebut.

Schumpeter mengatakan seorang wirausahawan adalah individu yang memperoleh peluang dan menciptakan organisasi untuk mengejarnya (mengejar peluang). Sedangkan Drucker mengatakan bahwa wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya, dan memanfaatkannya sebagai peluang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seorang entrepreneur adalah pribadi yang mencintai perubahan, karena dalam perubahan tersebut peluang selalu ada. Ia akan selalu mengejar peluang tersebut dengan cara menyusun suatu organisasi [8]. Scharg menyebutkan bahwa wirausahawan merupakan hasil belajar, walaupun diakui bahwa jiwa wirausahawan mungkin juga telah diperoleh sejak lahir (bakat). Bakat yang telah ada, bila tidak dikondisikan dan dikembangkan, maka bakat tersebut tidak akan menghasilkan. Disinilah pentingnya pembelajaran (pendidikan) berbasis entrepreneurship. Muncul dan berkembangnya jiwa-jiwa entrepreneur (wirausaha) akan menjadi solusi rendahnya jumlah wirausahawan di Indonesia, dan jangka menengah dan panjang akan mengurangi kemiskinan.

Agar pendidikan berbasis “solusi” ini bisa diimplementasikan secara efektif, maka perlu direncanakan secara sistematis dan terintegrasi oleh setiap perguruan tinggi. Ada dua hal yang perlu dilakukan  yaitu: pertama, sosialisasi makna pendidikan berbasis “solusi” kepada seluruh sivitas akademika termasuk pimpinan perguruan tinggi. Sebagian sivitas akademika, utamanya dosen belum memahami sepenuhnya tentang soft skills, multikultural dan enterpreneurship dalam proses pembelajaran. Perdebatan tentang apakah “solusi” bisa diukur atau tidak, apakah “solusi” bisa diterapkan untuk semua mata kuliah atau tidak, menunjukan bahwa pemahaman tentang “solusi” perlu kembali kita pelajari. Pemahaman yang benar tentang “solusi” peserta didik (mahasiswa) akan ditentukan oleh pemahaman yang benar dulu oleh tenaga pendidiknya. Untuk mendukung program-program pembelajaran yang berbasis “solusi”, peran pimpinan perguruan tinggi sangat diperlukan.

Kedua, pendidikan berbasis “solusi” belum cukup hanya sebatas sosialisasi, namun yang lebih penting adalah merubah kurikulum satuan pendidikan menjadi kurikulum yang berbasis “solusi”. Kurikulum yang dikembangkan harus memastikan bahwa “solusi” masuk dalam perkuliahan baik dalam bentuk mata kuliah atau metode pembelajarannya. Agar pembelajaran berbasis “solusi” memiliki dampak, maka lebih baik masuk dalam metode pembelajaran, karena peserta didik akan mengalami proses pembentukan karakter selama mengikui pendidikan. Konsekuensi pembelajaran berbasis “solusi”  menuntut kompetensi dosen dalam strategi dan metode pembelajaran.  Dosen harus mulai untuk merubah startegi dan metode pembelajarannya dari yang bersifat klasik (teacher centered learning/TCL) menjadi pembelajaran berbasis student centered learning (SCL). Penanaman karakter tidak bisa efektif diterapkan melalui pembelajaran berbasis TCL, karena peserta didik cenderung tidak dilibatkan langsung mempraktekan nilai-nilai “solusi”.  Oleh karenanya berbagai strategi dan metode pembelajaran yang inovatif harus menjadi stratagi dan metode pembelajaran semua dosen. Beberapa strategi pembelajaran inovatif yang harus terus diperkuat pelaksanaannya adalah case-based learning, cooperative learning, competitive learning, problem based learning[9].

Ketiga, pimpinan perguruan tinggi harus memfasilitasi kegiatan ekstra kurikuler yang mendukung tujuan pendidikan berbasis “solusi”, baik yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa. Ini sangat penting sebagai bagian dari upaya yang integratif dan menyeluruh di semua kegiatan sivitas akademika. Tidak adanya komitmen pimpinan terhadap pembelajaran berbasis “solusi”, akan mengakibatkan tujuan perguruan tinggi untuk membentuk karakter bangsa tidak bisa terwujud. Selain peningkatan kompetensi dosen dalam proses pembelajaran, sarana dan prasarana pendukung pembelajaran pun harus difasilitasi. Sarana dan prasarana tersebut diantaranya ruang yang memadai, dukungan dana untuk program-program yang mendukung “solusi” serta adanya stimulan atau insentif bagi dosen yang mengembangkan proses pembelajaran berbasis “solusi”.

Semua cara itu hanya akan efektif apabila ada komitmen bersama semua sivitas akademika untuk merubah paradigma pendidikan atau pembelajaran dari yang bersifat semata-mata trasfer of knowledge menjadi pembelajaran berbasis “solusi”. Komitmen ini penting, karena perubahan ini membutuhkan kesiapan waktu, pengetahuan dan dana untuk mengimplementasikannya. Namun ada satu hal yang harus tetap ada dan melebihi dukungan tersebut, yaitu idealisme pengelola perguruan tinggi, utamanya pendidik (dosen) untuk tetap memiliki idealisme sebagai pendidik, dimana kualitas lulusannya akan sangat ditentukan oleh proses pembelajarannya. Apabila kita cinta bangsa dan generasi penerus kita, maka kita harus melakukan perubahan tersebut.


[1] “Kewirausahaan Tuntaskan Masalah Bangsa”, dalam http://antaranews.com/berita/282032/kewirausahaan-tuntaskan-masalah-bangsa, diakses tanggal 15 Januari 2012
[2] “Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menurut Provinsi 2011, dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=23&notab=1, diakses tanggal 16 Januari 2012
[3] M.Ainul Yaqin, 2007, Pendidikan Multikultural: cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media
[5] “Jacob Utama: Jumlah Wirausahawan Indonesia Tertinggal”, http://www..tribunnews.com/2011/11/26/jacob-utama-jumlah-wirausahawan-indonesia-tertinggal, diakses tanggal 16 Januari 2012
[6] Asep Saepudin, 2009, “Membangun Soft Skills Mahasiswa Melalui Kegiatan Kurikuler, Ko dan Ekstra Kurikuler”, disampaikan dalam Seminar Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi, Fisip UPN “Veteran” Yogyakarta, 31 Desember 2009
[7] Indra Djati Sidi, 2008, “Pendidikan Masa Depan Indonesia”, Makalah yang disampaikan dalam Workshop Renstra Sekolah, P4TK, Sawangan, 24 Juli 2008
[8] “Pendidikan Berbasis Enterpreneur” dalam www.penulislepas.com, diakses tanggal 16 Januari 2012
[9] Richard L. Arends, 2008, Learning to Teach, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

No comments:

Post a Comment