Bidang pendidikan menjadi perhatian utama masyarakat,
ketika masalah bangsa muncul silih berganti, mulai dari masalah politik,
ekonomi, social dan budaya. Perhatian masyarakat seperti ini bisa difahami
karena pendidikan merupakan institusi yang dapat membentuk karakter sebuah
bangsa. Masalahnya adalah apakah
pendidikan telah membentuk karakter yang dapat berkontribusi terhadap solusi
bangsa? atau sebaliknya
pendidikan hanya membentuk manusia
cerdas tapi belum menciptakan karakter bangsa yang solutif?. Tulisan ini
berusaha memberikan wacana kepada stakeholders (pemangku kepentingan) pendidikan, untuk
menjadikan pendidikan sebagai institusi yang
melahirkan manusia-manusia yang berkarakter solutif bukan destruktif.
Beberapa masalah bangsa yang sering dibicarakan di
media adalah kemiskinan, konflik kekerasan baik bersifat vertikal (pemerintah
dan masyarakat) maupun horizontal (masyarakat dengan masyarakat) ketidakadilan
hukum serta maraknya korupsi.
Persatuan Alumni OSIS se-Indonesia,
Satrio Chaniago menyebutkan 40 juta jiwa pengangguran, 1,5 juta korban PHK,
lebih kurang 20 persen hidup di bawah garis kemiskinan[1].
BPS menyebutkan di tahun 2011, penduduk miskin di kota dan desa berjumlah 30
juta lebih atau sekitar 12, 49 % dari penduduk Indonesia[2].
Konflik kekerasan yang
berawal dari sengketa pengolahan bahan tambang di Bima Nusatenggara Barat,
masalah tuntutan warga Papua terhadap hak menikmati keberadaan kekayaan bahan
tambang, konflik syiah dan sunni di Sampang Madura, menunjukan bahwa konflik
masih bersumber dari masalah sumber daya alam dan bernuansa sara (suku, ras, agama dan antar
golongan). Ketidak adilan hukum masih terlihat dari proses dan putusan hukum
yang diskriminatif antara pelaku kriminal “kecil” dan pelaku kriminal “besar”,
serta perlakuan yang berbeda dari pegawai lembaga pemasyarakatan antar
narapidana. Korupsi yang
meluas, baik dari aspek jumlah maupun pelakunya di era reformasi, menunjukan
bahwa tujuan reformasi untuk menghilangkan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
belum terwujud.
Banyak analis yang telah menjelaskan akar penyebab dari banyaknya masalah
yang dihadapi bangsa ini, utamanya akar penyebab konflik yang belakangan
terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Prof.Dr. H.M. Amin Abdullah menyebutkan
bahwa masalah (konflik) muncul ketika keinginan negatif (negative interest) sesorang atau kelompok orang dicapai dengan
mengabaikan hak orang lain, mengabaikan nilai-nilai persamaan, keadilan dan
persaudaraan. Oleh karenanya untuk meminimalisir konflik, perlu dilakukan
penanaman kesadaran kepada masyarakat akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality),
kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democracy values) dalam setiap aktifitas
sosial. M. Ainul Yaqin, M.Ed. mengemukakan
bahwa pemahaman dan respon yang tidak tepat terhadap karakteristik Indonesia
yang heterogen, telah menimbulkan masalah bangsa. Pendidikan multikultural yang
menanamkan nilai-nilai demokrasi, humanisme dan pluralisme menjadi bagian
solusi masalah bangsa ini [3].
P2KP (Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan) memahami bahwa akar penyebab dari persoalan kemiskinan yang
sebenarnya adalah karena kondisi masyarakat yang belum berdaya. Hal ini diindikasikan oleh perilaku/sikap/cara pandang masyarakat
yang tidak dilandasi pada nilai-nilai universal kemanusiaan, yaitu sifat kejujuran, dapat dipercaya dan ikhlas, serta tidak
bertumpu pada prinsip-prinsip universal kemasyarakatan, seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan demokrasi. Kondisi ini yang
menyebabkan pemerintah membuat Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak
adil [4].
Jacob Utama, Pendiri Kompas Gramedia dan Universitas Multimedia Nusantara
(UMN) menyampaikan bahwa di Indonesia, jumlah wirausahawan baru mencapai 0,18 %
dari total jumlah penduduk Indonesia 225 juta, dibandingkan dengan Singapura
yang memiliki 4,2 %, Malaysia 2,1 %, Thailand 4,1 %, Korea Selatan 4 % dan
Amerika Serikat mencapai 11,5 % [5].
Menurutnya, menjadi wirausahawan menjadi
salah satu kunci yang strategis untuk memajukan bangsa dan negara, khususnya
mengurangi kemiskinan. Beberapa kunci keberhasilan menjadi wirausahawan adalah
nilai kreatifitas, proaktif, semangat juang yang tinggi, optimis, mandiri,
berani mengambil risiko, dan berani bersaing secara agresif dan jujur, tidak
malu untuk memulai sesuatu yang baru serta membangun relasi yang baik. Nilai-nilai ini yang
harus ditransformasikan dalam proses pendidikan (pembelajaran).
Dari berbagai akar penyebab tersebut, terlihat bahwa karakter dominan manusia
yang terbentuk dan berkembang dari proses sosialnya, sangat menentukan
bentuk aktifitas seseorang atau kelompok orang di masyarakat. Salah satu proses
sosial penting dan formal di masyarakat yang menentukan karakter tersebut adalah
bidang pendidikan, khususnya perguruan tinggi.
Oleh karenanya perguruan tinggi memegang
peran utama untuk menciptakan
karakter masyarakat Indonesia yang solutif, yaitu karakter yang mampu meyelesaikan masalah bangsa dan meminimalisir
konflik. Penekanan pada
meminimalisir konflik menjadi sangat penting, mengingat karakteristik Indonesia
yang sangat heterogen (keberagaman) dan dapat berpotensi konflik apabila tidak
difahami dan direspon dengan benar makna keberagaman.
Sudah saatnya seluruh stakeholders
perguruan tinggi menyadari bahwa pendidikan tidak hanya sebagai sarana untuk transfer of knowledge tapi sebagai
sarana pembentukan karakter (character
building)yang lulusannya mampu bersaing, baik di tingkat nasional maupun
global, serta dapat berkontribusi terhadap masalah-masalah bangsa. Untuk menjalankan
perannya tersebut, sistem pendidikan yang perlu dikembangkan perguruan tinggi di
Indonesia adalah sistem pendidikan yang berbasis “solusi”, yaitu pendidikan
yang berbasis soft skills (so),
multikultur (lu) dan entrepreneurship (si).
Soft skills diartikan sebagai personal and interpersonal behaviors that develop and maximize human
performance (e.g. coaching, team building, initiative, decision making). Soft
skills do not include technical skills, such as financial, computer and
assembly skills [6].
Banyak hasil penelitian dan analisis yang menunjukan bahwa soft skills lebih menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja
dan berusaha (bisnis) dibandingkan hanya kemampuan intelegensia (hard skills). Namun ironisnya praksis sistem
pendidikan lebih menekankan pada hard
skills daripada soft skills dalam
proses pembelajarannya. Kondisi ini yang mengakibatkan lulusan perguruan tinggi
tidak mampu bersaing dan tidak menjadi bagian untuk menyelesaikan masalah
bangsa.
Beberapa nilai-nilai soft skills yang
terpenting dalam kaitannya dalam membentuk karakter bangsa dan perlu
ditransformasikan dalam proses pembelajaran yaitu: kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir analitis, bekerja
dalam tim, kemampuan beradaptasi, bersikap jujur, kreatif dan inovatif,
kemampuan multikultur, memiliki kemandirian, kemampuan untuk bekerja keras,
serta kesiapan dalam kondisi tertekan/darurat. Munculnya konflik yang bernuansa
sara antara pendatang dan pribumi, penyelesaian masalah oleh pemerintah yang
berakhir kekerasan merupakan akibat rendahnya kemampuan komunikasi para
pemimpin bangsa dan kelompok masyarakat, serta kemampuan masyarakat Indonesia
untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Disisi lain rendahnya lulusan perguruan
tinggi berwirausaha disebabkan oleh rendahnya tingkat kemandirian, kreatifitas,
serta kesiapan berusaha dalam kondisi tertekan. Indra Djati Sidi mengemukakan
bahwa kemampuan kerjasama dalam tim juga menjadi salah satu kelemahan
masyarakat Indonesia untuk membawa kejayaan bangsanya [7].
Kerjasama merupakan kunci utama menciptakan perdamaian di negara yang sangat
heterogen. Oleh karenanya pembelajaran yang berorientasi pada kepandaian dalam
membangun kerjasama sosial yang melintasi batas-batas primordialisme (suku,
agama, ras dan antar golongan), menjadi sebuah keniscayaan.
M. Ainul Yaqin M.Ed mengemukakan bahwa Pendidikan multikultural menjadi
sangat penting diterapkan di Indonesia karena strategi dan konsep pendidikan
ini, tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam ilmu yang
dipelajarinya, tetapi sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme,
demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada di
sekitar mereka. Yang perlu difahami
adalah bahwa pendidikan multikultural bukan semata-mata pemberian pengetahuan kepada
peserta didik tentang nilai-nilai tersebut, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana nilai-nilai tersebut diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan semua
kegiatan ekstra kurikuler mahasiswa di perguruan tinggi. Beberapa nilai
multikultural yang harus dikembangkan adalah anti diskriminasi, penghormatan
dan memperjuangkan nilai keadilan berbasis pada kamanusiaan, penghargaan
terhadap perbedaan, pengembangan demokrasi yang substantif dan tidak hanya
prosedural. Oleh karenanya penguatan nilai-nilai multikultur menjadi
keniscayaan dikembangkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi.
Indonesia akan mengalami kehancuran, apabila generasi penerusnya tidak memiliki
nilai-nilai tersebut.
Schumpeter mengatakan seorang wirausahawan adalah individu yang memperoleh
peluang dan
menciptakan organisasi untuk mengejarnya (mengejar peluang). Sedangkan Drucker
mengatakan bahwa wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya, dan
memanfaatkannya sebagai peluang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seorang
entrepreneur adalah pribadi yang mencintai perubahan, karena dalam perubahan
tersebut peluang selalu ada. Ia akan selalu mengejar peluang tersebut dengan
cara menyusun suatu organisasi [8]. Scharg menyebutkan bahwa wirausahawan merupakan hasil belajar, walaupun diakui bahwa jiwa wirausahawan mungkin juga telah diperoleh sejak lahir (bakat). Bakat yang telah ada, bila tidak dikondisikan dan dikembangkan, maka
bakat tersebut tidak akan menghasilkan. Disinilah pentingnya pembelajaran
(pendidikan) berbasis entrepreneurship. Muncul dan berkembangnya jiwa-jiwa
entrepreneur (wirausaha) akan menjadi solusi rendahnya jumlah wirausahawan di
Indonesia, dan jangka menengah dan panjang akan mengurangi kemiskinan.
Agar
pendidikan berbasis “solusi” ini bisa diimplementasikan secara efektif, maka
perlu direncanakan secara sistematis dan terintegrasi oleh setiap perguruan
tinggi. Ada dua hal yang perlu dilakukan
yaitu: pertama, sosialisasi makna
pendidikan berbasis “solusi” kepada seluruh sivitas akademika termasuk pimpinan perguruan tinggi.
Sebagian sivitas akademika, utamanya dosen belum memahami sepenuhnya tentang soft skills, multikultural dan
enterpreneurship dalam proses pembelajaran. Perdebatan tentang apakah “solusi”
bisa diukur atau tidak, apakah “solusi” bisa diterapkan untuk semua mata kuliah
atau tidak, menunjukan bahwa pemahaman tentang “solusi” perlu kembali kita
pelajari. Pemahaman yang benar tentang “solusi” peserta didik (mahasiswa) akan
ditentukan oleh pemahaman yang benar dulu oleh tenaga pendidiknya. Untuk
mendukung program-program pembelajaran yang berbasis “solusi”, peran pimpinan
perguruan tinggi sangat diperlukan.
Kedua, pendidikan berbasis “solusi” belum cukup hanya sebatas sosialisasi, namun
yang lebih penting adalah merubah kurikulum satuan pendidikan menjadi kurikulum yang berbasis “solusi”.
Kurikulum yang dikembangkan harus memastikan bahwa “solusi” masuk dalam
perkuliahan baik dalam bentuk mata kuliah atau metode pembelajarannya. Agar
pembelajaran berbasis “solusi” memiliki dampak, maka lebih baik masuk dalam
metode pembelajaran, karena peserta didik akan mengalami proses pembentukan
karakter selama mengikui pendidikan. Konsekuensi pembelajaran berbasis “solusi”
menuntut kompetensi dosen dalam strategi
dan metode pembelajaran. Dosen harus mulai
untuk merubah startegi dan metode pembelajarannya dari yang bersifat klasik (teacher centered learning/TCL) menjadi
pembelajaran berbasis student centered
learning (SCL). Penanaman karakter tidak bisa efektif diterapkan melalui
pembelajaran berbasis TCL, karena peserta didik cenderung tidak dilibatkan
langsung mempraktekan nilai-nilai “solusi”.
Oleh karenanya berbagai strategi dan metode pembelajaran yang inovatif
harus menjadi stratagi dan metode pembelajaran semua dosen. Beberapa strategi pembelajaran
inovatif yang harus terus diperkuat pelaksanaannya adalah case-based learning, cooperative learning, competitive learning,
problem based learning[9].
Ketiga, pimpinan perguruan tinggi harus memfasilitasi kegiatan ekstra kurikuler
yang mendukung tujuan pendidikan berbasis “solusi”, baik yang dilakukan oleh
dosen maupun mahasiswa. Ini sangat penting sebagai bagian dari upaya yang
integratif dan menyeluruh di semua kegiatan sivitas akademika. Tidak adanya
komitmen pimpinan terhadap pembelajaran berbasis “solusi”, akan mengakibatkan
tujuan perguruan tinggi untuk membentuk karakter bangsa tidak bisa terwujud.
Selain peningkatan kompetensi dosen dalam proses pembelajaran, sarana dan
prasarana pendukung pembelajaran pun harus difasilitasi. Sarana dan prasarana
tersebut diantaranya ruang yang memadai, dukungan dana untuk program-program
yang mendukung “solusi” serta adanya stimulan atau insentif bagi dosen yang
mengembangkan proses pembelajaran berbasis “solusi”.
Semua cara itu hanya akan efektif apabila ada komitmen bersama semua sivitas akademika untuk merubah paradigma
pendidikan atau pembelajaran dari yang bersifat semata-mata trasfer of knowledge menjadi
pembelajaran berbasis “solusi”. Komitmen ini penting, karena perubahan ini
membutuhkan kesiapan waktu, pengetahuan dan dana untuk mengimplementasikannya.
Namun ada satu hal yang harus tetap ada dan melebihi dukungan tersebut, yaitu
idealisme pengelola perguruan tinggi, utamanya pendidik (dosen) untuk tetap
memiliki idealisme sebagai pendidik, dimana kualitas lulusannya akan sangat
ditentukan oleh proses pembelajarannya. Apabila kita cinta bangsa dan generasi
penerus kita, maka kita harus melakukan perubahan tersebut.
[1] “Kewirausahaan Tuntaskan Masalah Bangsa”,
dalam http://antaranews.com/berita/282032/kewirausahaan-tuntaskan-masalah-bangsa, diakses tanggal 15 Januari 2012
[2] “Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin,
Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) menurut Provinsi 2011, dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=23¬ab=1, diakses tanggal 16 Januari 2012
[3] M.Ainul Yaqin, 2007, Pendidikan Multikultural: cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media
[5] “Jacob Utama: Jumlah Wirausahawan
Indonesia Tertinggal”, http://www..tribunnews.com/2011/11/26/jacob-utama-jumlah-wirausahawan-indonesia-tertinggal, diakses tanggal 16 Januari 2012
[6] Asep Saepudin, 2009, “Membangun Soft
Skills Mahasiswa Melalui Kegiatan Kurikuler, Ko dan Ekstra Kurikuler”,
disampaikan dalam Seminar Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi, Fisip
UPN “Veteran” Yogyakarta, 31 Desember 2009
[7] Indra Djati Sidi, 2008, “Pendidikan Masa
Depan Indonesia”, Makalah yang disampaikan dalam Workshop Renstra Sekolah,
P4TK, Sawangan, 24 Juli 2008
[9] Richard L. Arends, 2008, Learning to Teach, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
No comments:
Post a Comment