Masalah yang berkaitan dengan
kemampuan menulis mahasiswa sering dibicarakan oleh pemangku kepentingan
(stakeholders) bidang pendidikan, baik di media massa maupun kegiatan diskusi,
seminar dan workshop. Apalagi sejak adanya kebijakan kementerian pendidikan dan
kebudayaan melalui Surat edaran dirjen dikti nomor 152/E/T/2012, bahwa mulai
agustus 2012 yang menentukan syarat kelulusan bagi S1,S2 dan S3 harus
mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal ilmiah. Terlepas dari pro dan kontra
kebijakan tersebut, kemampuan menulis mahasiswa menjadi penting untuk
diperhatikan oleh stakeholders bidang pendidikan.
Pada prinsipnya tujuan
kebijakan tersebut baik yaitu untuk meningkatkan kemampuan menulis lulusan dan
menghindari plagiarisme, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing bangsa.
Namun yang menjadi masalah adalah pada tingkat implementasi, khususnya
kemampuan PT dalam menyediakan sarana publikasi yang berkualitas. Tulisan
singkat ini tidak membahas kebijakan kemendikbud, tapi lebih memfokuskan pada
bagaimana membangun kemampuan menulis lulusan/mahasiswa sebagai salah satu
kompetensi yang diperlukan.
Kemendikbud menyampaikan
bahwa sejak tahun 2010, publikasi ilmiah Indonesia dibawah negara-negara Asean
dan jauh di bawah Malaysia. Kondisi ini berbeda pada tahun 2001, dimana
Indonesia dan negara-negara Asean masih relatif sama jumlah publikasi
ilmiahnya. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi, diantaranya:
pertama, di tingkat mahasiswa kemampuan menulis mahasiswa yang rendah sebagai
akibat kurangnya minat mahasiswa menulis. Minat tidak akan muncul apabila
menulis difahami sebagai sesuatu kemampuan yang kurang/tidak memberi manfaat
bagi dirinya baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Sedangkan
di tingkat dosen, selain faktor kemampuan menulis, juga faktor belum fokusnya
dosen terhadap bidang penelitian.
Kedua, kebijakan pemerintah
dan satuan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) yang belum mendukung sistem
pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam
menulis. Kebijakan pemerintah tentang kewajiban publikasi ilmiah bagi syarat
kelulusan, dapat menjadi awal untuk membangun kompetensi menulis, apabila
infrastrukturnya dipersiapkan dengan baik. Pentingnya kompetensi menulis bagi mahasiswa,
belum difahami secara menyeluruh oleh pengelola PT atau program studi. Hal ini
ditunjukan dengan tidak semua PT mewajibkan mahasiswanya membuat skripsi
sebagai syarat kelulusaanya. Kewajiban menulis skripsi, yang dilembagakan oleh
pemerintah, bisa menjadi tahap awal untuk membangun kemampuan menulis.
Oleh karenanya untuk
membangun kompetensi menulis perlu dilakukan dua hal, yaitu pertama membangun
kesadaran kepada mahasiswa bahwa menulis merupakan salah satu keterampilan
hidup (life skill) bukan hanya
sebatas kemampuan akademik. Kedua, menciptakan budaya menulis melalui kebijakan
institusi atau PT, baik di bidang kurikulum maupun non kurikulum
(program-program PT).
Kesadaran mahasiswa dalam
menulis akan tumbuh apabila adanya pemahaman bahwa menulis bermanfaat bagi diri
dan kehidupannya di masa depan. Kita perlu banyak mengelaborasi di berbagai
forum diskusi tentang manfaat menulis sebagai life skill (ketrampilan hidup). Menulis banyak difahami sebagai
sebuah ketrampilan yang tidak mudah, apalagi menulis ilmiah. Persepsi bahwa
menulis itu sulit, akan menjadi kendala
tersendiri dalam membangun kemampuan menulis. Oleh karenanya persepsi ini perlu
dirubah melalui diseminasi tentang menulis itu bermanfaat bagi mahasiswa.
Apabila menulis ilmiah dianggap sulit, kenapa tidak dimulai dari menulis fiksi.
Dengan tumbuhnya kecintaan terhadap menulis (fiksi/tulisan sederhana), maka
seiring bertambahnya pengetahuannya, keinginan untuk menulis ilmiah akan
muncul.
Berbagai kajian menunjukan
bahwa menulis memberi banyak manfaat bagi seseorang. Pakar menulis, Caryn
Mirriam-Goldberg PhD (dalam
http://yopi-nasir.blogspot.com/2012/03/manfaat-menulis.html, 26/3/2012)
mengemukakan manfaat menulis diantaranya: memahami diri sendiri, membangkitkan
kepercayaan diri, memunculkan ide dan gagasan sendiri, memberi kontribusi pada
orang lain atau masyarakat, meningkatkan kreatifitas, sebagai wadah meluapkan
berbagai masalah diri yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dalam menulis (ilmiah)
apalagi tulisan untuk dipublikasikan, dapat memberikan pembelajaran yang
bermanfaat dalam kehidupan atau life
skill. Artinya orang yang terbiasa menulis akan senantiasa memperhatikan
prinsip-prinsip dalam menulis. Beberapa prinsip
yang penting dalam menulis adalah mengedepankan logika/rasionalitas,
berbicara atau berargumentasi berdasarkan fakta, mengedepankan kejujuran, serta
melatih kepekaan sosial.
Orang yang terbiasa menulis
senantiasa berpikir logis, rasional dan sistematis. Hal ini sangat diperlukan
dalam membangun interpersonal yang baik atau yang dikenal dengan soft skills. Konflik bisa muncul karena
sumber informasi yang tidak faktual/valid. Menulis mengasah kita untuk
senantiasa mendasari argumen berdasarkan fakta.
Kejujuran menjadi nilai yang
sangat langka dalam masyarakat bangsa ini. Ungkapan yang salah seperti
"orang jujur akan hancur", menjadi pegangan sebagian masyarakat kita.
Maraknya korupsi di Indonesia merupakan akibat dari membudayanya
ketidakjujuran. Bangsa ini tidak akan bisa mengatasi masalah yang kompleks
hanya dengan satu, dua atau tiga orang, kelompok atau partai sekalipun. Bangsa
ini membutuhkan sinergi dan kolaborasi dari semua komponen masyarakat. Hal itu
akan terjadi apabila semua kita memiliki kepekaan sosial. Menulis melahirkan
kepekaan sosial karena dituntut untuk selalu menemukan dan menjawab masalah.
Oleh karenanya Nilai-nilai yang terkandung dalam menulis akan sangat bermanfaat
bagi diri sendiri (bidang kerjanya), masyarakat dan bangsa Indonesia.
Sedangkan untuk bisa
menciptakan budaya menulis setidaknya ada dua hal yang dilakukan secara
pararel, yaitu di tingkat kurikuler dan ko/ekstra kurikuler. Di bidang
kurikuler, kemampuan menulis akan muncul dan menjadi kebiasaan (budaya) apabila
kurikulumnya mendukung. Yang harus diperhatikan di bidang kurikulum yaitu mata
kuliah yang mendukung dan metode pembelajaran yang berorientasi pada
membiasakan dan meningkatkan kemampuan menulis. Setidaknya perlu ada 3 Mata
kuliah dasar yang harus ada dalam kurikulum pendidikan tinggi yaitu bahasa
Indonesia, metode penelitian dan penulisan ilmiah. Semua mata kuliah ini, harus
mengarah pada kompetensi umum kemampuan menulis atau meneliti. Metode
pembelajaran untuk semua mata kuliah pun harus diarahkan untuk melatih
kemampuan menulis mahasiswa dan ada evaluasi hasil tulisan dari dosennya.
Contoh pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan menulis adalah dalam
pemberian tugas-tugas kuliah, setidaknya mahasiswa diminta untuk melakukan 3
hal yaitu: menemukan masalah dalam sebuah fenomena yang sesuai mata kuliah atau
bidang ilmunya, alat analisis
(teori/kerangka berpikir) yang digunakan, serta menerapkannya pada masalah yang
dianalisis. Hal ini akan berhasil baik apabila didukung oleh wawasan mahasiswa
yang memadai. Oleh karenanya, review berbagai bacaan atau buku, menjadi penting
dalam proses pembelajaran. Bobot yang tinggi untuk mendapat nilai bagus,
sebagai faktor terakhir yang penting dalam membangun culture menulis.
Untuk bidang ko dan ekstra
kurikuler, peran pengelola sistem pendidikan, mulai dari tingkat program studi
hingga universitas sangat penting. Peran yang harus dilakukan adalah
memfasilitasi berbagai hal yang mendukung budaya menulis. Beberapa yang perlu
menjadi perhatian adalah senantiasa memperbaharui koleksi pustaka yang memadai,
baik yang bersifat cetak maupun on line. Beberapa program kegiatan yang disusun
oleh pengelola harus menciptakan iklim budaya menulis seperti kegiatan
pelatihan menulis serta lomba-lomba menulis, baik menulis fiksi maupun non
fiksi. Fasilitasi insentif bagi prestasi mahasiswa juga harus disiapkan.
Berdasarkan uraian tersebut,
kemampuan dan budaya menulis di kalangan mahasiswa, tidak hanya ditentukan oleh
mahasiswa sendiri namun harus didukung dan difasilitasi oleh lembaga atau
pengelola pendidikan.
No comments:
Post a Comment